Timnas Indonesia saat melawan Polandia tahun 2008, Saat itu Timnas Indonesia menduduki peringkat 6 asia, dan berhak mengikuti kualifikasi Olimpiade 2010, (sumber : Fivb.org : Gety Image) |
Gelaran Proliga 2017
sudah menyelesaikan putaran pertama yang berlangsung di Malang, Palembang dan
Batam. Namun ingar ingar Proliga 2017 terasa tidak ada gaungnya dan terkesan
sepi pemberitaan.
Hal ini menimbulkan
beberapa pertanyaan dari para pecinta bola voli tanah air. Banyak yang
menanyakan mengapa ajang bergengsi sekelas proliga tidak ada stasiun televisi
swasta yang mau menayangkannya..???
Memang jika kita tarik
ke satu dekade yang lalu, tepatnya ketika proliga masih disponsori oleh
Perusahaan rokok ternama yaitu Sampoerna Hijau, gelaran proliga sangat semarak
sekali terasa. Bahkan banyak terobosan yang dilakukan oleh Sampoerna guna
menambah semarak kompetisi yang saban Minggu ditayangkan di stasiun tv One yang
dulu bernama Lativi.
Salah satu terobosan
yang dilakukan oleh Sampoerna hijau ialah dengan mengadakan AllStar perang
bintang yang mempertemukan pemain-pemain terbaik dari tiap tim serta pelatih
terbaik yang menukangi kedua tim Allstar tersebut. Biasanya perang bintang
dilaksanakan di paruh musim kompetisi ataupun menjelang final four.
Tidak hanya perang
bintang, proliga juga gencar beriklan di berbagai media elektronik dan media
cetak, tentu kita masih ingat dengan tagline : “gila voli” dengan banyak iklan
nyeleneh khas Sampoerna Hijau.
Salah satu iklan yang
penulis masih ingat ialah ketika ada mobil bak berisi durian yang melewati
polisi tidur dan duriannya terjatuh, lalu ada sekelompok anak muda yang mencoba
menahan durian dengan gaya pasang khas voli. Dan diakhir iklan si pemuda
tersebut masuk rumah sakit dan dijenguk oleh pacarnya.
Betapa kangennya insan
voli nasional dengan tayangan-tayangan voli di televisi. Yang menambah ketat
bobot kompetisi serta menghasilkan tim nasional yang sangat tangguh kala itu. Kita
masih ingat dengan raihan dua emas beruntun yang dipersembahkan oleh Joni
Sugiatno dan kawan-kawan pada medio 2007 dan 2009.
Terobosan lain yang
dilakukan Sampoerna hijau adalah dengan mengadakan turnamen – turnamen kecil
yang diadakan di beberapa kota. Tujuan turnamen ini adalah untuk mencari
talenta-talenta muda yang terserak di kampung-kampung yang tidak terdeteksi
oleh klub.
Penulis masih mengingat
dengan jelas saat tahun 2006 ketika final proliga dilaksanakan di Istora
Senayan. Saat itu penonton penuh sesak sampai banyak yang tidak kebagian masuk.
Bahkan di layar kaca tv pun yang saat itu ditayangkan oleh Lativi mencapai ranting
tertinggi. Meskipun saat itu tayang dalam durasi panjang.
Banyak anak-anak yang transpirasi
oleh tayangan di televisi saat itu. Sehingga tiap sore hari di kampung-kampung
selalu terlihat anak-anak remaja bermain voli. Tagline “gila Voli” memang ampuh
untuk membangkitkan gairah voli di masyarakat saat itu.
Hampir lolos olimpiade
Semaraknya kompetisi
yang luar biasa tersebut berimbas positif pada perkembangan timnas. Tentu kita
masih ingat ketika Indonesia berhasil menduduki peringkat 6 Asia dalam
kejuaraan bola voli Asia. Bahkan saat itu Joni Sugiatno sempat bisa lolos ke
putaran 3 kualifikasi olimpiade 2008. Saat itu Indonesia berada satu grup
dengan Portugal, Polandia, dan Puerto Rico.
Aksi Jhoni Sugianto saat melawan Bartosz Kurek cs (FIVB.org : gety images) |
Meskipun Timnas tidak
mengantongi satu kemenanganpun, namun Joni dan kawan-kawan bisa memberikan
perlawanan sengit dengan skor yang tidak terlalu jauh. INA vs POR (23-25,
17-25, 21-25). INA VS POL ( 20-25, 17-25, 23-25), PUERT VS INA ( 21-25, 19-25,
24-26). Hal itu tidak mengherankan mengingat tinggi badan para pemain Indonesia
yang rata-rata hanya 185 cm, sedangkan tim lawan memiliki rata-rata postur 200
cm. Apalagi saat itu Polandia diisi pemain tebak dunia yaitu Bartosz Kurek yang
masih belia.
Saat itu Joni Sugiatno
mendapatkan banyak pujian dengan smash-smash quicknya yang sulit dibendung
bloker lawan. Kolaborasinya dengan Erwin rusni membuat bloker-bloker lawan
sulit menebak arah serangan yang dibangun oleh Indonesia, Joni masuk lima Best Spiker
dalam kejuaraan tersebut. Tak ketinggalan pula quicker lainnya Affan Priyo yang
menyumbang banyak poin. Saat itu permainan Indonesia praktis mengandalkan
bola-bola cepat untuk mensiasati kelemahan di tinggi badan.
Serangan bola-bola Open
praktis saat itu tidak efektif untuk dilancarkan. Berkali-kali serangan yang
dibangun oleh Oen Spike Indonesia saat itu Ayip Rizal dan Riviansyah selalu
mentok oleh bloker lawan yang memiliki tinggi badan diatas dua meter.
Penurunan Kualitas
Namun, setelah ada
aturan regulasi terkait perusahaan rokok tidak boleh mensponsori turnamen
olahraga, gaung kompetisi proliga mulai meredup. Proliga yang biasanya
ditayangkan tiap Minggu di TVone/lativi , saat itu hanya ditayangkan saat sudah
memasuki babak final four saja.
PBVSI sebagai induk
olahraga voli kesulitan untuk mencari pengganti yang sepadan dengan perusahaan
rokok Sampoerna Hijau yang jor-joran dalam hal pendanaan. Terbukti makin ke
sini proliga pun kian redup dan pudar kesemarakannya. Bahkan di tahun ini 2017,
proliga tidak bisa mendapatkan sponsor utama untuk proliga seperti tahun
sebelumnya yang disponsori oleh Pertamina. Kini Pertamina hanya menjadi sponsor
pendukung.
Entah ada apa dengan
PBVSI sekarang, sehingga tidak bisa mengemas dan membujuk sponsor agar bisa mensponsori
gelaran proliga. Padahal, dilihat dari antusiasme masyarakat, voli merupakan
olahraga nomor dua setelah sepakbola yang paling di gemari di Indonesia.
Hal itu tentu saja
mengurangi semarak proliga. Memang para penonton yang dilalui oleh gelaran
proliga di setiap serinya masih bisa menyaksikan langsung ke stadion, namun
para pecinta voli yang jauh dari kota dan ingin menyaksikan pemain idolanya
berlaga tidak akan bisa ikut menyaksikan.
Sebagai penggemar voli,
kita tentu iri dengan futsal dan basket, yang setiap minggunya ditayangkan oleh
stasiun televisi swasta. Walaupun disisi lain hal tersebut terjadi karena ketua
dan pembina olahraga tersebut adalah juragan media di Indonesia yang bisa kapan
saja memerintahkan kepada medianya untuk menayangkan olahraga yang mereka bina.
Memang, disisi lain
voli adalah olahraga yang tidak dibatasi oleh waktu seperti halnya sepakbola,
Basket, dan futsal, yang waktunya bisa ditentukan serta durasi penayangannya
bisa diperkirakan apabila sampai perpanjangan waktu pun. Berbeda dengan voli
yang permainannya ditentukan oleh poin, yang bisa jadi berlangsung diluar
perkiraan durasi yang telah ditentukan.
Walaupun saat ini
proliga bisa disaksikan live melalui streaming di youtube tapi tidak semua
orang memiliki kuota untuk mengaksesnya, apalagi di dusun terpencil yang akses
internetpun tidak ada. Padahal sangat ingin menyaksikannya di layar kaca.
Hal itu jelas menjadi
perhitungan televisi swasta untuk menayangkan voli di stasiun tv mereka. Hal inipun
terjadi ketika final proliga 2012-2013 (penulis lupa) yang hanya menayangkan
final di sektor putri, itupun tidak sampai selesai karena pada saat terjadi
long set dan durasi penayangan di tv tersebut sudah selesai, otomatis penonton
di layar kaca pun merasa kecewa karena tidak bisa menonton sampai selesai.
Namun bila kita mau
berkaca ke negeri tetangga Thailand tentu kita akan sangat kagum dengan media Disana.
Masih segar, kemarin turnamen Prince cup yang mempertemukan timnas u-19,
ditayangkan oleh stasiun tv SMM. Tidak hanya itu, setiap kegiatan tim nasional
mereka pun selelu diikuti perkembangannya, dimulai dari latihan, turnamen,
bahkan keseharian para pemainpun sering diliput oleh media Disana.
Maka tak heran terus
banyak muncul bibit-bibit pemain unggul di Thailand, khususnya di sektor putri.
Ketika Thinkaw Pleumjit dan Nootsara Tomkom sudah mulai menua, sudah muncul
pengganti yang tak jauh beda kualitasnya seperti Ajcharaporn Kongyot dan
Parinya Pankaew.
Tidak jauh berbeda di Filipina,
Disana Turnamen Voli sekelas proliga dikemas dengan sangat bagus. Sehingga stasiun
tv Diana ABS CBN sport selalu menayangkan liganya dengan kualitas gambar sampai
resolusi HD.
Maka bukan tidak
mungkin 5-10 tahun ke depan apabila pengelolaan liga kita masih seperti ini,
timnas kita bisa makin mundur dan bahkan tersalip oleh Filipina dan Myanmar.
Karena jika kita lihat
saat ini, tidak ada setter yang sekelas Loudry ataupun Erwin rusni, atau Quicker
Sehandal Joni Sugiatno. Dan libero sehandal Risco Herlambang maupun Fadlan
Abdul Karim. Para pemain medio 2000an memang terbentuk menjadi handal karena
sering diikutkan mengikuti kejuaraan tingkat Asia bahkan dunia. Hal ini pula
yang membentuk karakter mereka. Ditambah lagi saat itu Timnas dilatih oleh
pelatih tangan besi Li Qui Jang dan berlanjut ke Hu Xin Yu yang selalu
menanamkan kedisiplinan.
Maka tidak heran bila Rudi
Tirana dan Riviansyah berujar bahwa pemain-pemain muda saat ini tidak memiliki
mental baja dan tehnik yang bagus. Yunior mereka saat ini hanya mengandalkan
kekuatan dan asal kencang saja. Beda dengan era mereka yang selalu
mengedepankan skill dan taktik. Sedangkap pada era mereka dilatih Mr. Li, pemain berlatih sangat keras hingga sampai tidak sanggup berjalan dan bahkan merangkak untuk berjalan saking kerasnya latihan dari Mr. Li.
Sebagai insan voli,
kita tentu berharap ke depannya PBVSI bisa kembali membangkitkan gairah
kompetisi proliga kembali. Ataukah jalan di tempat ??
penulis adalah penggemar voli nasional.